Monday, April 18, 2016

Dibalik nama kartini

kartoni

“...Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara.”

~Nina Herlina L Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, PR, 08-03-2008~


21 April merupakan hari kartini, saat emansipasi wanita bergaung kuat di berbagai media dan diperiganti dengan berbagai acara. Namun banyak dianatara kita yang tidak tahu hakikat emansipasi, siapa sebenarnya kartini itu, dan mengapa harus kartini yang menjadi ikon, padahal Kartini lahir tahun 1979 jauh sebelum para tokoh penggerak wanita Indonesia lainnya seperti  Malahayati yang  memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini.


Kartini dan Politik Etis

Kartini lahir pada 21 April 1879 dan tumbuh dikeluarga priayi Jawa yang lekat ajaran kebatinan. Garis keturunannya bersambung dengan Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang priayi Jawa yang sangat mendukung pemikiran –pemikiran barat. Sang Ayah Rd. Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang Bupati Jepara yang dekat dengan kaum kolonial.

Pada masa ini haluan politik Kolonial Belanda mulai beralih, menjadi politik etis, yang salah satu programnaya gerakan ialah mencapur dan mengganti (Asimilasi & Asosiasi) kebudayaan asli Indonesia dengan kebudayaan negara Induk (Belanda) melalui pemerintahan, pendidikan, dan system hukum. Pada masa ini para pengusung politik etis aktif untuk mengkader kaum pribumi.


Snouck Hugronje sebagai Penasehat Pemerintahan Hindia Belanda Hindia Belanda pada masa ini merekomendasikan J.H Abendanon dan Istrinya Ny. Abendanon untuk mendekati Kartini. Dan banyak lagi para pegiat poltik etis yang mendekati kartini yang sedikit banyak mempengaruhi alur pemikiran Kartini.

Di antara mereka yang mendekati kartini ialah seorang pejuanng feminism radikal berdarah Yahudi bernama Estella H Zeehendelar. Kartini berkorespondisi (berkirim surat) dengan Estella sejak 25 Mei 1899, ia banyak memengaruhi kartini dalam hal perjuangan wanitadan dan sosialisme.


Pemikiran yang Nyeleneh


Berikut ini beberapa petikan pemikiran Kartini yang terkesan “nyeleneh” yang terekam dalam korespondensinya berasama para tokoh Kolonial Belanda.


“kalau orang mau mengajarkan agama kepada orang Jawa, ajarkanlah mereka kepada Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak yang maha pengasih, Bapak semua umat, Baik Kristen maupun maupun Islam, Buddha maupun Yahudi, dan lain-lain (Surat Kartini kpd. E.C. Abendanon, 31-01-1903)


“Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama yaitu kebaikan, yang Tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah”(Surat Kartini Kpd. Dr. Adriani, 24-09-1902)


“Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu dapat dipeluk baik sebagai Nasrani, maupun Islam dan lain-lain(Surat 31-01-1903)


Pemikiran kartini di atas jelas mengarah kepada keyakinan Pluralisme agama. Bahkan dalam beberapa korespondensinya ia menyatakan diri secara tegas akan teosofiketerkaitannya dengan Teosofi, sebuah gerakan pemikiran aliran kebatinan Yahudi (Kabbalah).

“Orang yang tidak kami kenal secara pribadi hendak membuat kami mutlak penganut Theosofi, dia bersedua untuk memberi kami keterangan mengenai segala macam macam di dalam pengetahuan itu. Orang lain yang juga tidak kami kenal menyatakan bahwa tanpa kami sadari sendiri kami adalah penganut Theosofi.” (Surat kartini kpd. Ny. Abendanon, 24-08-1902).

 

Kumpulan surat kartini dengan Ny. Abnedanon dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht pada 1911 oleh Karini Fonds, sebuah lembaga bentukan seorang Humanis dan Pegiat politik etis, Conrad Theodore van Daventer. buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”


Sebagai seorang Jawa yang hidup di lingkungan yang lekat dengan kebatinan membuat kepercayaan tesebut berakar kuat dalam jiwa kartini, sehingga saat Teosofi datang seakan tersiram, karena pada hakikatnya ajaran kebatinan itu sama.


Masih banyak kutipan—kutipan pemikiran Kartini dalam kumpulan korespondensinya yang bisa anda lihat di buku: Gerakan Theosofi di Indonesia & #Indonesia Tanpa Liberal karya Artawijaya, terbuitan al-Kautsar.


Hal inilah yang membuat beberapa sejarawan, seperti Hasja, dan Taufik Abdullah juga Artawijaya menganggap bahwa penokohan Kartini sebagai sebuah Rekayasa sejarah kolonial Belanda untuk menampilkan Kartini sebagai Figur wanita pribumi teladan bangsa.


Dan memang nyata terlihat arah emansipasi yang digaungkan begitu jauh dari nilai-nilai ketimuran (khususnya ajaran Islam), emansipasi berubah menjadi “Emansisapi” yang menuntut kesetaraan wanita dalam segala hal tanpa melihat batas-batas norma agama, yang membuat sosok Kartini menjadi seorang “Kartono”. Padahal Islam membagi peran wanita dan laki-laki dengan porsi dan peran yang jelas, dan saling mendukung serta memiliki kedudukan yang mulia saat dilaksanakan dengan semestinya.


Kartini Bukan Kartono


Ide Emansipasi saat ini dimaknai sebagai (1) pembebasan dari perbudakan dan (2) persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat antara kaum wanita dengan kaum pria. Jika gerakan emansipasi wanita yang digagas Kartini adalah untuk mendapatkan equal right (persamaan hak) antara laki-laki dengan perempuan sebagaimana gagasan feminisme-sekular.


Tentu itu tidak benar. Karena sebagaimana dinyatakan oleh Ratna Megawangi, obsesi kaum feminisme-sekular ini justru telah mengubah persepsi masyarakat terhadap sosok perempuan yang lembut. Yang timbul adalah konsep “perempuan super”, perempuan di mata pria sebagai sosok yang independent, sehingga merugikan kaum hawa sendiri.


Dan perlu diingat kartini rela menjadi istri keempat dari Bupati Rembang, yang kemudian justru mendukung semua cita-cita perjuangannya dalam pendidikan terhadap kaum wanita, yaitu dengan mendirikan sekolah wanita di Kabupaten Rembang, Kartini menulis mengenai suaminya :


“Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya, daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri. “ ? [Habis Gelap Terbitlah Terang, hlm. 187].


Sumber :

Buletin at-Tajdid edisi ke-8

 

3 komentar:

Lumbungpengetahuan
July 14, 2017 at 9:42 AM

Bukti klo penjajah baru mengusai indonesia setelah 300 tahun mana ??

ADMIN
July 21, 2017 at 7:20 PM

Cek link ini bang, https://salaamatan.blogspot.co.id/2015/02/mitos-penjajahan-350-tahun.html#more

Miliana
September 4, 2019 at 8:06 PM

suka sekali dengan ibu kartini

alfamart jsm

Post a Comment

Total Pageviews