Monday, January 5, 2015

Mengenal Tiga Istilah: MILLAH, DIN, DAN SYARI’AH



Makna Syari’ah

Sebelum kita membahas perbedaan antara ketiga istilah penting tersebut ada baiknya kita bahas dulu tentang makna syari’at, istilah ini akan banyak disinggung dalam pembahasan. Shalat lima waktu, Shaum ramadhan, shalat gerhana dll adalah contoh syari’at. Ia adalah aturan jelas, dengan hukum yang jelas, dan aturan yang terperinci, terdapat dalam kitabullah dan Ajaran Rasulnya, 


Sebuah syari’at bisa berubah pada periode-periode Nabi diutus, baik Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Daud a.s, Musa, maupun Nabi Muhammad dan nabi-nabi lainnya terjadi beberapa perberubahan bentuk syari’at, contohnya Shaum wajib Umat Daud adalah selang sehari selama setahun, sedangkan Shaum Umat Muhammad sebulan penuh, bagi bani Israil semua makanan asalnya halal, kecuali apa yang diharamkan Isra’il (Ya’qub a.s) atas dirinya, tapi di kemudian hari Allah mengharamkan segala binatang berkuku, sapi, domba serta lemak-lemaknya untuk dimakan.[1]

Oleh karenanya Al-Alusi dalam tafsirnya menerangkan sebagai berikut :

“Adapun syari’at asalnya bermakna sumber, kemudian dijadikan sebagai nama bagian hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan di dunia dan akhirat, sama saja apakah itu tersurat  dari pembuat syari’at –yaitu Allah adalam kitab-Nya. pent— ataupun tidak, akan tetapi syari’at itu dikembalikan kepada pembuatnya.  Dalam syari’at itu ada nasakh (penghapusan) dan tabdil (penggantian)”  (Al-Alusi 1 : 448)

Allah swt berfirman :
 
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan barometer terhadap  Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan (syari’at) dan jalan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (Q.s al-Ma’idah : 48)


Makna ad-din dan Millah
           
 Para ahli tafsir dan bahasa berbeda pendapat dalam mendefinisikan din (الدِيْن), millah (ملّة), dan syari’at, di antara mereka ada yang mempersamakan antara din dan millah dan membedakannya dengan syari’at, seperti yang diungkapkan oleh Ar-Raghib dan Ibnu Mandzur. Di antara mereka ada juga yang mempersamakan millah dan syari’at dan membedakannya dengan din, seperti diungkap oleh al-Qurthubi dalam Tafsirnya. Dan masih penafsiran-penafsiran lainnya.

Akan tetapi pendapat-pendapat tersebut tidak begitu jelas hujjah-hujjahnya. Untuk itu kami akan mengetengahkan pembahasan tentang ketiga istilah penting ini untuk menghilangkan kerancuan dalam memahami pesan-pesan Allah dalam kitab-Nya. 

Al-Alusi dalam tafsirnya, Ruhul ma’ani,  mengatakan bahwa Millah adalah dasar-dasar syari’at—atau lebih tepat adalah ‘ajaran inti’— yang tidak pernah berubah sejak manusia  pertama hidup hingga manusia akhir zaman.  


“Millah merupakan isim yang berasal dari fi’il amlaltu al-Kitaba (أَمْلَلْتُ الْكِتَابَ) yang berarti “Mendiktekan kitab”— seperti telah dikatakan oleh ar-Raghib.  Darinya kemudian millah dipahami sebagai  thariiqin muluulin yang berarti “jalan yang sudah dikenal”—sebagaimana diterjemahkan oleh al-Azhari.

Dari pengertian itu Kemudian ia diartikan sebagai dasar-dasar syari’at (ajaran inti. pent), Sebab Rasulullah saw mengajarkannya tapi tak seorang pun dari para nabi yang lain yang berselisih tentangnya...  (Al-Alusi 1 : 448)


            Millah merupakan pokok ajaran yang tidak berubah dan menjadi pondasi dari semua bentuk syari’at/ ajaran tertentu, maka ia akan menjadi dasar bagi setiap gerak langkah seseorang dalam menentukan arah gerakan seseorang dalam menjalani hidupnya. Millah para nabi ialah mengabdi pada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, yang menghantarkan manusia pada amal yang berdasarkan pada perintah dan larangan dari Allah dan Rasul-Nya. 

            Ajaran ini tidak pernah berubah sejak nabi pertama diutus hingga Nabi dan Rasul terakhir ditugaskan, Allah SWT berfirman :

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka beribadahlah kamu sekalian kepadaku". (al-Anbiya : 25)

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ (25) أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ (26)

“dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak beribadah selain kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan". (Q.s Huud : 25-26)

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا مُفْتَرُونَ 

“dan kepada kaum 'Ad (kami utus) saudara mereka, Huud. ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah pada Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (Q.s Huud : 50)

Ayat-ayat tersebut diatas menjelaskan bahwa ada ajaran inti dari syari’at-syari’at yang diberlakukan di setiap zaman para nabi sejak awal, yaitu mengabdi/beribadah pada Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatupun, dan itu bersumber dari sebuah prinsip kuat dalam kalimah thayyibah (laa ilaaha illaAllah).

Kalimat Thayyibah bukanlah sebuah prinsip biasa, dia adalah dasar kokoh bagi setiap tingkah laku seorang muslim. Pemaham yang benar terhadap kalimat ini akan menuntun seseorang ke arah keselamatan dunia akhirat. Sebaliknya ketika salah memahami, akan salah jalan yang ditempuh. Ia bagaikan sebuah kompas, ketika jarumnya melenceng satu derajat saja dari arah tujuannya akan menyimpang berkilo-kilo meter ke arah yang salah, sedikit saja pemahaman yang salah terhadap kalimat thyyibah ini maka akan jauh kita tersesat. Itu sebabnya mengapa millah yang lahir dari umat ini diprediksi akan begitu banyak.

Namun tidak semua yang memiliki pemahaman yang benar beramal benar, banyak di antara manusia yang paham akan tauhid yang lurus tapi tidak menjalankan tuntutan dari ketauhidan itu. ini juga menunjukkan bahwa ada yang salah dari ketauhidannya, dan secara otomatis membentuk millah yang lain, millah yang berdasar pada pemahaman tanpa pengamalan.

Sungguh Allah telah menggambarkan bagaimana seharusnya seseorang dalam bertauhid, Dia menggambarkan dengan sebuah perumpamaan indah dalam al-Qur’an :


أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25)

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat thayyibah (Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,. pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” ( Q. s Ibrahim : 24-25)

Jumhur ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan kalimat thayyibah dalam ayat ini adalah kalimat laa ilaaha illaAllah. Allah mennggambarkan kalimat itu seperti pohon yang kuat akarnya, tinggi batangnya dengan daun yang rindang menaungi orang-orang di bawahnya, juga memberi manfaat pada orang-orang sekitar. Pemahaman yang benar dari kalimat thayyibah ini menjadi dasar paling penting bagi terbentuknya banyak perbuatan kita sehari-hari, ia adalah akar yang akan menumbuhkan batang-batang, daun dan buah yang baik untuk memberi rasa aman dan manafaat pada orang di sekitarnya.

Maka seorang muslim adalah orang yang mampu memberikan rasa aman pada orang di sekitarnya lewat lisannya juga perbuatannya, dan memberi manfaat pada orang lain. Millah seperti inilah yang akan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dan sebaliknya, millah yang keluar dari kalimat tauhid walau hanya sedikit penyimpangannya (keluar dari kriteria perumpamaan kalimah thayyibah) adalah millah yang bathil, sebab dari penyimpangan itu akan lahir sikap penentangan terhadap aturan Allah yang dibawa oleh Nabi-Nya. Rasulullah menggambarkan bagaimana kaum Nashrani yang gemar sekali beramal tapi saat aturan Allah datang pada mereka lewat Muhammad Rasulullah mereka banyak menolaknya, begitu juga orang-orang Yahudi yang mempunyai ilmu keagaamaan yang baik mereka tidak juga mau beriman pada ajaran Islam. 

 Di kalangan muslimin juga begitu, ada di antara mereka yang mengaku muslim tapi karena prinsip mereka yang membebek pada ulama—bukan mencari kepastian bahwa ia dari Allah dan Rasulnya—saat dihadapkan pada dalil-dalil shahih dari al-Qur’an dan Sunnah banyak di antara mereka yang menolak. Begitupun dengan para penjahat, pemabuk, penjudi, kaum musyrikin dll saat dihadapkan pada aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya, mereka banyak menolaknya. Penolakan dalam istilah Islam disebut dengan kufur.
  
Itulah sebabnya sebagian ulama termasuk Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa segala bentuk kekufuran adalah satu millah yang sama walaupun agama mereka berbeda-beda. Mereka mengatakan :
 
الْكُفْرُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ
“Kekufuran adalah millah yang satu”[2]


Ini menunjukkan bahwa semua bentuk kekufuran memiliki millah yang sama, yaitu keluar dari akidah Islam yang menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah. 

Dari uraian di atas maka secara garis besar millah terbagi dua, ada millah yang haq, dan illah yang bathil. Millah yang haq, yaitu “Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu-pun” atau lebih dikenal dengan Tauhid (kalimah thayyibah), sedangkan millah yang batil adalah “segala millah yang keluar dari ketauhidan yang lurus”, itulah ‘kekufuran’.
 
Karena tipisnya penyimpangan-penyipangan itu Rasulullah menggambarkan akan lahir banyak millah dari tubuh Umat yang telah Allah utus Nabi kepada mereka, Rasulullah Saw bersabda :

 قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهْ وَ سَلّمَ، لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أَمّتِيْ مِا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَعْلِ بِالنِعْلِ، حِتَّى إِذَا كَانَ مِنْهُمْ مَنْ  أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَّةً، فَإِنَّ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذلِكَ، وِ إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تِفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثِ وَ سَبْعْينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النِارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدِةً، قِالُوْا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِيْ (رَوَاهُ الِترْمِذي، عِنْ عِبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو: قَالَ الِترْمِذِي :حديث حسن غريب)
Rasulullah pernah bersabda : sungguh akan datang kepada ummat ku apa yang  telah datang kepada Bani Israil sedikit demi sedikit, hingga jika ada di antara mereka ada yang mendatangi (menzinahi) ibunya secara terang-terangan, maka sesungguhnya di antara ummatku pun akan ada yang melakukannya, Bani israil telah terpecah mejadi 72 millah (ajaran) dan umatku akan terpecah menjadi 73 millah, semuanya ada di neraka  kecuali satu millah, mereka (para sahabat) bertanya : siapakah ia wahai rasulullah?, Rasulullah menjawab :“Apa yang Aku dan para sahabatku pegang teguh (al-Qur’an dan Sunnah) (HR. Tirmidzi, dari Abdullah Bin ‘Amr, al-Tirmidzi berkata : hadis hasan Gharib)
Dari Millah-millah inilah yang kemudian akan lahir firqah (golongan manusia) yang bermacam-macam, firqah yang masih tetap pada millah yang berlandaskan tauhid yang lurus, dialah yang akan selamat, sedangkan yang melenceng darinya—walaupun sedikit— akan celaka. Wallohu a’lam
Lalu, apa bedanya millah dan din?

Ad-Din memiliki arti yang sangat luas, terkadang ia diartikan sebagai ketaatan dan ketundukan, terkadang juga diartikan sebagai pembalasan,  dan juga terkadang diartikan sebagai sebuah sistem tata aturan (Agama).

Kalimat din yang berarti agama—yang semakna dengan millah dalam terjemahan— memiliki cakupan arti yang lain, ia lebih luas dari millah. Jika millah hanya berarti ajaran inti atau pokok-pokok syari’at, din mencakup segala aturan yang mengikat manusia; mencakup kepercayaan, aturan yang mengatur tata ibadah ritual dan mua’amalah, hingga adanya balasan bagi pelanggar baik di dunia maupun di akhirat. “Singkatnya din adalah sebuah sistem aturan yang mencakup segala aspek dan memjanjikan balasan bagi pelaksana dan pelanggarnya”

Melihat pengertian tersebut, maka sebenarnya, Jika seorang manusia, baik pemimpin, penguasa  atau yang lainnya membuat aturan yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, dari keyakinan hingga tata budaya yang wajib ditaati dengan konsekuensi hukuman bagi setiap pelanggarnya, maka sebenarnya itu adalah din/agama.[3]

Selain itu juga yang terpenting adalah bahwa din mengandung makna kekuasaan mutlak bagi siapa yang menciptakan dan mengaturnya, Islam sebagai din Allah mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi dalam din ini adalah Allah, jika Allah memberikan aturan, maka wajib ditaati, tak ada yang bisa mengalahkan aturannya.

Seperti millah, din juga terbagi dua, ada din yang haq dan din yang batil, din yang haq adalah dinul Islam, sedangkan din yang batil adalah din selain Islam, sebagaimana Allah ta’ala berfirman :

 إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”(Q.s. Ali Imran : 19)

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.s. Ali Imran : 85)


Pada akhirnya....

Dengan demikian tidak ada kebingungan bagi kita dalam memahami dua isitlah ini dalam al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam dalam ayat berikut ini :

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ (78)

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) millah orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (al-Hajj : 72)
          
Dalam ayat  tersebut Allah menerangkan bahwa agama yang dibawa oleh para Nabi (Islam) sangatlah luas, banyak aturan yang terdapat di dalamnya yang membutuhkan energi ketaatan yang kuat, maka kemudian Allah memerintahkan kita untuk mengikuti millah Ibrahim, yaitu Tauhid yang lurus yang taat tanpa kompromi pada Rab-Nya. Kita sudah tahu bagaimana ketaatan yang ditunjukkan Ibrahim, ia sampai rela mengorbankan anak dan Istrinya hanya karena itu perintah Allah. wallohu A’lam.

As-Shiraatha al-Mustaqim, dan Millah

Dalam
ibadah shalat kita diperintahkan untuk membaca surat al-Fatihah dalam setiap rakaat, tak kurang dari 17 kali kita membaca surat tersebut dalam sehari. Ini menunjukkan betapa pentingnya makna surat ini.

Di antara ayat-ayat dalam surat tersebut ada ungkapan do’a :

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah aku Jalan yang lurus (shirat al-Mustaqim), yaitu jalan orang-orang yang telah Kau beri nikamat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai (al-Maghdlub), dan bukan pula jalan mereka yang sesat (ad-Dlalliin).” (Q.s. al-Fatihah : 6-7)
Ayat ini merupakan do’a agar kita ditunjukki jalan yang lurus, jalan kebahagiaan (as-shiraat al-Mustaqim), dan di ayat berikutnya dijelaskan kriterianya, yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri Nikmat. Lalu mengapa toh seorang muslim, tapi masih berdoa supaya ditunjukki jalan yang luruus? Padahal kan jalan yang lurus itu sedang mereka tapaki? Mengapa harus diulang-ulang. Untuk itu perlu pembahasan mengenai makna as-Shiraat al-Mustaqim itu.

Tentang siapa mereka dan bagaimana jalan mereka Allah menjelaskan dalam ayat lainnya:

إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ (51)
            Ayat yang senada dengan Q.s. Ali Imaran : 5, ada dalam banyak surat Dalam ayat ini dikatakan bahwa, jalan orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam ayat lainnya di antaranya Q.s. al-Hijr : 41, Maryam : 36, Yasin : 61, dan az-Zukhruf 61. 
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Dan Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Q.s. an-Nisa : 69)

Ayat-yat tersebut menunjukkan bahwa as-Shirat al-Mustaqim adalah beribadah kepada Allah dengan cara taat kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Tak cukup dengan hanya penjelasan itu Q.s. al-Fatihah : 7 Allah juga menggambarkan kebalikan dari as-Shirat al-Mustaqim—unutuk lebih memperjelas as-Shiraat al-Mustaqim— yakni jalan golongan al-Maghdluub (yang dimurkai) dan ad-Daalliin (yang tersesat). Kedua golongan tersebut adalah Yahudi dan Nashrani, Rasulullah pernah bersabda :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : سَأَلْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ المَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ قَالَ : "الْيَهُوْد" قُلْتُ الضَالِّيْنَ قَالَ : النَصَارَى.
“Dari Abu Dzar r.a. Ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang al-Maghdlubi ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai), Beliau menjawab : (mereka adalah) “Yahudi”, Aku bertanya (lagi tentang) ad-Dlaalliin (orang-orang yang tersesat), Beliau menjawab : “Nashrani” (HR Ibnu Mardawaih dalam tafsir Ibnu Katsir 1 : 36)
Ibnu Katsir menjelaskan hal ini dalam tafsirnya,

...ولِلْفَرْقِ بَيْنَ طَرِيْقَتَيْنِ لِيِجْتَنِبَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا، فَإِنَّ طَرِيْقَةَ أَهْلِ الإِيْمَانِ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى العِلْمِ بِالْحَقِّ وَ العَمَلِ بِهِ، وَالْيَهُوْدُ فَقَدُوْا العَمَلَ وَ النَصَارَى فَقَدُوا العِلْمَ، وَلِهذَا كَانَ الغَضَبُ لِليَهُوْدِ وَ الضَّلَالُ لِلنَّصَارَى...
“...Dan untuk membedakan antara dua jalan mereka (Yahudi dan Nashrani) untuk menjauhkan keduanya dari diri kita, (perlu diketahui) sesungguhnya jalan (millah pent.) ahli Iman adalah mencakup atas pengetahuan yang benar dengan pengamalannya, sedangnkan Yahudi meninggalkan amal, dan Nashrani meninggalkan ilmu. Oleh karena itu maka murka (Allah) diperuntukkan bagi Yahudi dan kesesatan bagi Nahsrani...” (Ibid.,)   [4]
Penyebutan kebalikan dari jalan yang lurus yang hanya dua karakter manusia ini memberikan pengertian bahwa hanya ada dua ajaran pokok (millah) yang sesat menurut al-Qur’an, jika bukan al-Maghdlub –yang tahu ilmu tapi tak mengamalkan— berarti ad-dlaalliin yang mengamalkan sesuatu tanpa landasan yang benar. Kedua golongan ini dinisbatkan langsung pada Yahudi dan Nashrani. Dengan kata lain semua bentuk kekufuran yang ada di dunia akan selalu berdasar pada millah yang pasti, jika tidak membangkang setelah mengetahui ilmunya berarti beramal dengan landasan yang tidak benar—jika tidak mengikuti millah Yahudi berarti mengikuti millah Nashrani.
           
Kedua jalan sesat ini sangat sulit diketahui, seseorang yang kuat sekalipun tidak pernah ada dalam keadaan yang tetap, sekali waktu kita pernah terjerumus pula ke dalam lubang dosa apakah karena tidak tahu ilmunya— sehingg jadi seorang dlaallin—ataupun tahu ilmu tapi menyalahinya—menjadi seorang al-Maghlub. Maka tidak salah jika Muslimin diperintahkan untuk mengulang-ulang ihdinaa as-Shiraatha al-Mustaqim minimal 17 kali dalam sehari semalam, sebab tipis sekali perbedaan antara sesat dan tidak. Semoga kita senantiasa dituntun ke jalan yang lurus. Aamiin. Wallohu a’lam

Millah Ibrahim dan Millah Yahudi, Nashrani
           
Dalam banyak ayat dan surat, kita mendapati banyak ungkapan yang memerintahkan kita untuk mengikuti millah Ibrahim, mengapa harus Millah Ibrahim? Padahal semua nabi mengajarkan ajaran yang sama.

Jawabanya karena Allah telah mengangkat Nabi Ibrahim sebagai Imam, Allah berfirman :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (124)
“dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (al-Baqoroh : 124)
Selain itu, karena karakter millah itu adalah dikenal, semua orang yang pernah membaca kitab suci samawi (Quran, Taurat, Injil, dan Zabur) tahu millah Ibrahim, ia adalah seorang Nabi dan hamba Allah yang “selalu taat dalam melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah melalui wahyu, baik mudah atau susah, menyenangkan maupun tidak—tetap saja ditaatinya.” Itulah millah Ibrahim (juga nabi-nabi lainnya).
            Sudah menjadi sunnatullah, jika ada positif ada negatif, maka jika ada millah yang harus diikuti maka ada juga millah yang dilarang untuk diikuti. Itulah millah Yahudi dan Nashrani, dalam Q.s al-Baqoroh 120 Allah swt berfirman :
ولَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (120)
 “orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (al-Baqproh : 120)
Ayat ini mengisyaratkan larangan secara tidak langsung untuk umat Muhammad agar menjauhi millah Yahudi dan nashrani, sebab di akhir Allah menghadirkan hukuman bagi siapa saja yang mengikuti millah mereka, berupa “tidak akan mendapan pelindung dan penolong dari Allah”, sementara inilah yang kita butuhkan untuk kesuksesan kita di dunia juga di akhirat. 

Lalu millah yang bagaimanakah  millah Yahudi dan Nashrani itu?   

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa millah Yahudi adalah millah al-maghdlub (yang dimurkai) karena mereka mengetahui ilmu tapi tak mau mengamalkan sedangkan millah nashrani adalah millah ad-dlalliin (yang tersesat) karena mereka beramal tanpa ilmu yang benar.  karena prinsip Ibadah yang diridhai Allah adalah yang mengitergrasikan keduanya. Wallohu a’lam bi as-Shawab.




[1] Lihat : Q.s. Ali Imran : 93 dan Q.s. al-An’am : 146
[2] Syaikh Utsaimin, As-Syarhu al-Mumti’ ‘ala zaad al-Mustaqa, (al-Maktabah as-Syaamilah, http://www.ibnothaimeen.com), hlm, 11 : 135., walaupun memang secara lahir mereka punya millah yang berbeda, tapi dalam pandangan Islam mereka punya satu dasar yang sama—“kufur”.

[3] Lihat al-Maududi dalam empat Istilah dalam al-Qur’an.

[4] Baik as-Shiraat al-Mustaqiim atau shiraat al-Maghdluub dan ad-Dlaallin adalah pokok ajaran yang menentukan segala amal, seorang muslim yang mukmin yang baik beramal berdasarkan jalan ini sedangkan orang-orang Yahudi beramal berdasarkan shiraatha al-Maghdlub dan Nashrani beramal berdasarkan ash-Shiraat ad-dlaallin. Oleh karena itu ketiga shiraat ini adalah millah. Wallohu ‘alam

6 komentar:

Unknown
March 19, 2018 at 2:00 AM

MasyaAlloh....

abdullah daud
March 25, 2018 at 4:57 PM

Mantap.

Konsep yang penting. Perlu untuk difahami dan berpegang teguh dgn nya. Lebih lebih lagi dizaman ini, dimana manusia sudah keliru makna makna dari istilah diatas.

Unknown
November 13, 2018 at 12:05 AM

@Admin, keren nih pandangannya min ? kayanya seru kalau bisa tatap muka diskusi... Bisa minta kirim email atau Kontaknya ke email saya ibn.jhd@gmail.com

Unknown
November 13, 2018 at 12:09 AM

@Admin, keren nih pandangannya min ? kayanya seru kalau bisa tatap muka diskusi... Bisa minta kirim email atau Kontaknya ke email saya ibn.jhd@gmail.com

AILI MILLATUL MUSTAQIMAH
December 19, 2020 at 10:25 PM

MasyaaAllah
Semoga tulisannya bermanfaat
Awalnya saya ingin mendalami makna nama saya
dan akhirnya mendapat pemahaman yang lebih karena tulisan ini

Post a Comment

Total Pageviews