Thursday, December 8, 2016

CUKUP TANJUNG PRIOK SAJA !

Bismillahirrahmaanirrahibuku Pater Beekim

       1984 adalah ‘ammul huzn-nya Umat Islam Indonesia. Ratusan Warga Tanjung Priok dibantai hingga darah merah membasahi jalanan.  Darah kaum muslimin yang datang bukan hanya dari Jakarta tumpah begitu saja gara-terpancing umpan  Musuh yang licik. Berikut ini adalah paparan singkat M. Sembodo dalam buku : Peter Beek, CIA dan Freemason (Cet. Galan 2009)

Peristiwa kelabu tersebut bermula pada pagi 7 September 1984. Pagi itu, Sersan Satu Hermanu, anggota Babinsa Koja Selatan, Jakarta Utara, meminta agar poster yang tertempel di Mushala As-Saadah dicopot. Permintaan tersebut tidak digubris warga. Pada keesokan paginya, Hermanu datang lagi. Kali ini ia tidak meminta warga untuk mencopot, tetapi ia sendiri yang mencopotnya. Beberapa saksi mata melihat Hermanu mencelupkan koran ke air got. Koran tersebut ia gunakan untuk melepas poster.

Ketika melepas poster itu Hermanu tidak melcpas sepatu. Ia menginjak lantai mushala dengan sepatu. Inilah yang kemudian menimbulkan kemarahan warga. Karena Hermanu tidak bersedia meminta maaf atas ulahnya maka warga naik pitam. Amarah tak terbendung. Sepeda motor Hermanu kemudian dibakar oleh warga. Tentang insidcn ini Janet Steele memberikan laporan sebagai berikut :

 

"Dua hari kemudian, hari Senin, Sersan Hermanu dan seorang rekannya lewat gang kccil lalu didekati oleh dua pemuda yang meminta mereka untuk datang ke kantor kelurahan setempat untuk meminta maaf. Meskipun kedua tentara itu menolak minta maaf, mereka mau datang bersama kedua pemuda itu. Sementara itu, massa telah berkerumun. Beberapa orang melempar kedua tentara itu dengan pasir dan batu. Orang-orang ini mengatakan bahwa mereka didorong-dorong dan dipaksa. Beberapa orang mcnarik sepeda motor tentara-tentara itu ke tengah jalan dan melemparkannya sehingga tanki bensin motor itu pecah lalu motor itu dibakar,"

Amarah warga Muslim itu semakin memuncak. Jumlah kerumunan semakin banyak. Tak begitu lama tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Tanjung Priok mendatangi kawasan itu. Mereka menangkap empat warga Muslim yang dianggap membakar sepeda motor itu. Tentang penangkapan ini Majalah Tempo edisi 10 Pebruari 2008 memberikan uraian sebagai berikut:

"Tentara dari Komando Distrik Militer (Kodim) Tanjung Priok menyatroni kawasan itu. Empat pemuda yang diduga membakar motor diangkut ke Kodim. Warga meminta Amir Biki, seorang tokoh masyarakat Tanjung Priok, membebaskan keempat pemuda itu. Gagal."

Mengetahui negosiasi gagal, warga kembali turun ke jalan. Dua hari setelah penangkapan, warga membuat mimbar bebas di Jalan Sindang. Panggung didirikan persis antara pertemuan jalan. Pengeras suara dipasang. Begitu shalat Isya selesai warga Tanjung Priok berkumpul di sekitar panggung. Mereka mendengarkan khotbah dari ulama-ulama Tanjung Priok, salah satunya Amir Biki. Dalam pidatonya Amir Biki menyampaikan pidato tentang berbagai topik yang mengkritik pemerintah. Ia juga mengultimatum aparat yang apabila sampai jam 11 malam, keempat pernuda Priok yang ditahan tidak dibebaskan maka massa akan dikerahkan untuk menyerang kantor polisi.

Dengan berdebar-debar warga menunggu dentang pukul 11. Sambil menunggu waktu berlalu mereka membicarakan segala sesuatu. Akhirnya, menjelang pukul 11 warga yang mendapatkan gelagat pemuda Priok tidak dibebaskan, maka mereka memutuskan pergi ke kanror polisi tempat kawan-kawannya ditahan. Apa yang terjadi selanjutnya Janet Steele memberikan uraian sebagai berikut:

"Dipimpin Amir Biki, massa memulai arak-arakan sepanjang 1,5 km menuju kantor polisi dengan membawa bendera hijau-warna simbol Islam-dan memekik-kan Allahuakbar. Pada saat yang sama kelompok massa yang lain bergerak dari arah yang berlawanan, menuju Jalan Jampea, terusan Jalan Pelabuhan Raya. Di situlah mereka mulai membakar mobil dan toko-toko orang Cina.‘‘

Pada saat massa yang dipimpin Amir Biki baru setengah jalan, tentara dengan senjata lengkap mencegat mereka. Tentara memberikan tembakan peringatan. Warga semakin marah. Saling serang terjadi. Tentara menembaki warga dengan membabi buta. Dari jarak yang dekat Amir Biki ditembak. Pembantaian pun dimulai. Jumlah warga yang terterjang peluru tentara semakin banyak.

Bentrokan terjadi di jalan Yos Sudarso. Dalam prosedur penanganan terhadap demonstrasi massa seharusnva polisi yang berada di depan, tetapi dalam peristiwa menjelang tragedi Tanjung Priok justru tentara yang menghadapi. Di kemudian hari baru diketahui bahwa ternyata polisi dilarang keluar oleh tentara. Dihadang oleh tentara massa duduk di jalan dan meneriakkan takbir. Di saat posisi massa sepcrti ini, tiba-tiba terdengar teriakan dari sang komando yang memerintahkan pasukan penghadang untuk mundur. Dan setelah mundur dua langkah terdengar suara tembakan. Peluru-peluru berdesing menyobek kesenyapan malam. Kilatan-kilatan apinya seperti sengatan petir.

Begitu suara tembakan terdengar, seperti dikomando, truk tentara datang dari arah pelabuhan. Mereka menggilas massa yang lagi tiarap di jalan sambil melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan. Setelah korban dibantai, pemadam kebakaran di datangkan untuk menghilangkan genangan darah sehingga di tempat kejadian tidak ditemukan darah para korban.

Seperti biasa aparat Soeharto selang sehari setelah terjadi tragedi Tanjung Priok menyampaikan laporan resminya. Penyampai laporan resmi tersebut adalah Panglima ABRI, Jenderal L.B. Moerdani. Ia menyebutkan bahwa korban tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat.

Setelah tragedi Tanjung Priok, orang-orang Benny tctap melakukan intimidasi. Tak mengherankan kalau sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapa pun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.

Bila ditilik lebih mendalam, sebenarnya terjadinya pembantaian umat Islam di Tanjung Priok tidak hanya sebatas karena ditangkapnya empat pemuda. Jauh-jauh hari sebelum peristiwa itu sebetulnya suasana Tanjung Priok sudah "mendidih". Hal ini terjadi karena maraknya Kristenisasi di kawasan itu. Tentang hal ini dicatat oleh Janet Steele sebagai berikut:

"Salah satu yang 'diketahui setiap orang' tentang Tanjung Priok adalah bahwa sejumlah gercja telah dibangun tanpa izin rcsmi di daerah yang hampir seluruhnya dihuni Muslim -- sesuatu yang terjadi mungkin terjadi karena pihak berwenang setempat telah disuap."

Melihat kenyataan ini, warga Tanjung Priok pun memendam amarah. Dan amarah tersebut meledak menjadi peristiwa Tanjung Priok.

Setelah tragcdi Tanjung Priok, militer terus melakukan penangkapan-penangkapan. Sewaktu Kelompok Petisi 50 mengeluarkan protes terhadap penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh masyarakat pasca tragedi Tanjung Priok, Benny langsung menangkap penandatangan surat protes-protes tersebut. Di antara tokoh-tokoh Islam yang ditangkap antara lain AM Fatwa, AQ Jailani, Tasrif Tuasikal, HM Sanusi, HR Dharsono, Oesmany El Hamidy, Mawardi Noor, Tonie Ardhie. Mereka ini dituduh sebagai bagian ekstrim kanan.

Sementara itu, aparat-aparat Benny juga melakukan penyiksaan terhadap orang-orang yang ditangkap dalam tragcdi Tanjung Priok. Salah satu yang memberikan kesaksian adalah Syaiful Hadi. Dalam buku yang berjudul Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan; Suara Korban Tragedi Priok, ia menuturkan bahwa

 

setiap kali ia mengucapkan kalimat takbir karena tidak kuat terhadap siksaan yang dilakukan tentara pada malam tanggal 12 September 1984 itu, para pelaku penyiksaan melontarkan ejekan dan membentak dengan nada sinis, "Di sini tidak ada Tuhan!"

Otak Intelektual

Sersan Satu Hermanu hanyalah orang suruhan. Janet Steele mengungkapkan bahwa dalam investigasi yang dilakukan Majalah Tempo, Benny Moerdani mengakui kalau Tanjung Priok memang dibuat "asbak". Menurut Janet, pernyataan Moerdani ini memperkuat dugaan yang telah beredar setelah tragedi itu terjadi bahwa meletusnya tragedi Tanjung Priok merupakan hasil dari operasi intelijen untuk menggiring kelompok Islam radikal dalam perangkap. Dengan strategi ini, dengan mudah tentara bisa "Menghabisi" kelompok Islam radikal tersebut. Berikut ini pernyataan Benny Moerdani dalam Majalah Tempo edisi 19 Januari 1985 yang mengakui bahwa tragedi Tanjung Priok merupakan hasil kerja intelijen:

"Ibaratnya seperti orang merokok. Abunya tentu saja tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Asbak diperlukan untuk tempat abu. Nah, Tanjung Priok memang sengaja dijadikan semacam 'asbak, tempat penyaluran emosi,' ujar pcjabat tersebut (Benny Moerdani)."

Skenario yang dijalankan oleh Benny Moerdani tak jauh berbeda dengan yang di lakukan seniornya, Ali Moertopo. Ia sengaja melakukan operasi intclijen untuk menyulut emosi umat Islam. Begitu umat Islam benar-benar marah, mereka -Benny cs- mempunyai kesempatan untuk memojokkan dan "memukul" umat Islam; bahwa Islam adalah kumpulan para ekstrimis yang berkeinginan melawan ncgara.

Aroma bahwa Tanjung Priok akan dijadikan "asbak" sudah tercium jauh-jauh hari. Pada hari-hari sebelum tragedi Tanjung Priok terjadi, pemerintah secara ketat menyensor para ulama yang berceramah, tetapi anehnya di Tanjung Priok sensor tersebut tidak diberlakukan. Padahal, kawasan ini mcrupakan basis Islam di Jakarta. Yang terjadi di Tanjung Priok para ulama bebas berbicara, bahkan mengkritik pemerintah, sampai menolak azas tunggaI Pancasila. Perangkap ini tidak disadari oleh para ulama. Mereka yang tidak bisa bicara di tempat lain berbondong-bondong pergi ke Tanjung Priok. Nah, ketika para ulama yang selama ini terkcnal keras mengkritik pemerintah sudah masuk "asbak" Benny Moerdani, kerusuhan pun diledakkan di Tanjung Priok. Dengan adanya kerusuhan tersebut memberikan pembenaran pada pemerintah untuk melakukan penangkapan.

Sebetulnya, sebelum peristiwa Tanjung Priok terjadi, tokoh Islam senior seperti M. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara telah melarang ulama untuk datang ke Tanjung Priok. Mereka mengingatkan agar para ulama hati-hati agar tidak masuk ke dalam perangkap. Namun, para ulama terlambat menerima larangan tersebut sehingga mereka masuk "asbak" yang telah disiapkan oleh Benny Mocrdani.[]

Saat itulah muslimin Priok di bredel, darah besimbah memerahkan jalanan. Estafeta dakwah priok harus memualai segalanya dari awal ketakutan untuk menyampaikan haq semakin besar. Ulama pun terancam.

Ciri Kehancuran Umat datang ketika ilmu dicabut Yaitu dengan dicabutnya para ulama sehingga menyebarlah kebodohan.

__________________________

Umpan Kecil Dipakai Untuk Menangkap Ikan Kecil. Umpan Besar Dipakai Untuk menangkap Ikan Besar. Fa’tabiruu yaa uli al-Abshaar...

Wallohu A’lam..

2 komentar:

Lumbungpengetahuan
July 14, 2017 at 9:32 AM

"Mereka" adalah orang-orang yg telah kehilangan kemanusiaan

Miliana
September 4, 2019 at 7:55 PM

makasih sudah sharing yah kak

jsm alfamart

Post a Comment

Total Pageviews