Hakikat Lailatul Qadar (Bagian II)
Oleh : Amin Saefullah Muchtar
Makna Kedua: Lailatul Qadar Pada Setiap Bulan Ramadan
Dalam makna kedua, Lailatul Qadar adalah salah
satu malam yang terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Pemaknaan ini kita
peroleh dari jawaban Nabi terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
seseorang.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنَا أَسْمَعُ عَنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
فَقَالَ : هِىَ فِى كُلِّ رَمَضَانَ
Dari Abdullah bin Umar, ia
berkata, “Rasulullah saw. ditanya, tentang Lailatul Qadar dan aku
mendengarnya. Beliau bersabda, ‘Ia (Lailatul Qadar itu) ada pada tiap
bulan Ramadhan.” HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:53, No. 1387; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:307, No. 8309; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, III:84
Dalam
konteks inilah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan diri
menyambut malam yang mulia itu. Nabi saw. bersabda:
إِلْتَمِسُوهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ
Maka carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:714, No. 1923; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:50, No. 24.279; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:307, No. 8307; al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, I:604, No. 1596; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:434, No. 3676; Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, III:88
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
فَلْيَلْتَمِسْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
“Maka carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir” HR. Muslim, Shahih Muslim, II:824, No. 1165; Ahmad, Musnad Ahmad, II:75, No. 5443
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Selidikilah oleh kalian lailatul Qadar pada sepuluh (malam) terakhir di bulan Ramadhan” HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:714, No. 1923; HR. Muslim, Shahih Muslim, II:828, No. 1169; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:50, No. 24.279; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:160, No. 792; al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:307, No. 8310; Malik, al-Muwatha, I:319, No. 693; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:325, No. 9525
Berdasarkan
keterangan di atas kita mengetahui bahwa Lailatul Qadar yang dianjurkan
untuk dicari itu terdapat pada setiap bulan Ramadan, lebih tepatnya
pada sepuluh hari terakhir bulan itu. Meski demikian, Rasululullah tidak
menerangkan secara pasti tanggal berapa. Beliau hanya menganjurkan agar
lebih diperhatikan malam-malam setelah tanggal 20 Ramadhan. (lihat
keterangan detailnya pada edisi selanjutnya)
Allah sengaja
tidak memberitahukan kepada Nabi secara pasti tanggal berapa Lailatul
Qadar itu terjadi, dalam hal ini terkandung nilai tarbiyyah (pendidikan)
yang amat mulia, yakni agar tiap malam kaum muslimin mengisi malamnya
dengan ibadah dan doa, terutama pada malam-malam ganjil setelah berlalu
20 Ramadhan. Hal itu tampak jelas dari sikap Rasululah saw. pada sepuluh
hari terakhir setiap bulan Ramadan, dengan mengajak keluarganya untuk
bangun menghidupkan malam itu lebih giat dari malam-malam sebelumnya.
Aisyah menjelaskan:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi
saw. apabila memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadhan, beliau
mengencangkan sarungnya dan tidak tidur serta membangunkan keluarganya.”
HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:711, No. 1920; Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, VI:389, No. 1829
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - اذَا بَقِىَ عَشْرٌ مِنْ رَمَضَانَ ، شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَاعْتَزَلَ اهْلَهُ
“Rasulullah
saw. apabila tersisa sepuluh hari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan
ikat pinggangnya dan menjauhi istrinya.” HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:66, No. 24.422
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لا يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ
“Rasulullah
saw. bersungguh-sungguh pada sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, yang
tidak beliau lakukan hal itu pada waktu lainnya.” HR. Muslim, Shahih Muslim, II:832, No. 1175; Ahmad, Musnad Ahmad, VI:255, No. 26.231; At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:161, No. 796; An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II:270, No. 3390; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:562, No. 1767; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:342, No. 2215; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:313, No. 8344; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, II:252, No. 8691.
Penjelasan
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kalimat:
شَدَّ مِئْزَرَهُ
“beliau mengencangkan sarungnya”
Sebagian ulama memahami kalimat itu secara kinayah
(kiasan) dari makna bersiap siaga untuk ibadah. Sementara ulama yang
lain mengartikannya secara hakiki juga kiasan, yaitu menggunakan sarung
dan tidak melepaskannya, menjauhi istrinya (tidak bercampur) dan bersiap
siaga untuk ibadah. Namun kata Imam ash-Shan’ani, pemaknaan kalimat itu
meliputi ‘menjauhi istrinya’ tidak tepat sebab di dalam riwayat lain
disebutkan dengan redaksi:
فَشَدَّ مِئْزَرَهُ وَاعْتَزَلَ النِّسَاءَ
“beliau mengencangkan sarungnya dan menjauhi istri-istrinya” Penggunaan huruf waw, menunjukkan makna perbedaan.
Adapun kalimat:
وَأَحْيَا لَيْلَهُ،
“Dan menghidupkan malamnya.” Menunjukkan makna majazi (kiasan), yaitu tidak tidur di malam itu.
Sedangkan kalimat:
وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“serta membangunkan keluarganya.” Maksudnya untuk salat dan ibadah yang lain.
Sikap
keseriusan ini lebih dikhususkan oleh Rasulullah di sepuluh malam
terakhir karena waktu untuk ibadah demikian di bulan Ramadhan akan
segera berakhir. (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, III:383)
Bagaimana
dengan orang yang tidak sanggup melakukan itu di sepuluh malam terakhir
secara terus menerus? Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw. bersabda:
الْتَمِسُوهَا
فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ
أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
"Carilah
ia pada sepuluh terakhir (Ramadhan), yakni Lailatul Qadr. Maka jika
salah seorang dari kalian lemah atau tidak mampu, maka jangan sampai
terlewatkan tujuh malam terakhir." HR. Muslim, Shahih Muslim, II:823, No. 1165; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:327, No. 2183
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
اطْلُبُوا
لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَإِنْ
غُلِبْتُمْ فَلَا تُغْلَبُوا عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
"Carilah
Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Jika kalian
tidak mampu maka jangan terlewatkan pada tujuh hari yang tersisa." HR.
Ahmad, Musnad Ahmad, I:133, No. 1111
Sikap
demikian itu tampak lebih jelas lagi dari ajakan dan pengumuman yang
dilakukan beliau pada sore hari setelah salat Ashar, kepada khalayak
untuk berjamaah salat Tarawih di malam-malam ganjil.
عَنْ أَبِى
ذَرٍّ قَالَ لَمَّا كَانَ العَشْرُ الأَوَاخِرُ إِعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم فِى الْـمَسْجِدِ فَلَمَّا صَلَّى الـنَّبِيُّ صلى
الله عليه وسلم صَلاَةَ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ اثْـنَـيْنِ وَعِشْرِينَ
قَالَ : إِنَّا قَائِمُونَ اللَيْلَةَ إِنْ شَاءَ اللهُ، مَنْ شَاءَ
مِنْكُمْ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ وَهِيَ لَيْلَةُ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ
فَصَلاَّهَا الـنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم جَمَاعَةً بَعْدَ العَتَمَةِ
حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَ انْصَرَفَ، فَلَمَّا كَانَ لَيْلَةَ
أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا لَيْلَةَ
خَمْسٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بَعْدَ صَلاَةِ العَصْرِ يَوْمَ أَرْبَعٍ
وَعِشْرِينَ ، فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ اللَّـيْلَةَ إِنْ شَاءَ الله ُ
يَعْنِى لَيْلَةَ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَقُمْ فَصَلَّى
بِالنَّاسِ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمَّا كَانَ
لَيْلَةَ سِتٍّ وَعِشْرِينَ لَمْ يَقُلْ شَيْئًا وَلَمْ يَقُمْ فَلَمَّا
كَانَ عِنْدَ صَلاَةِ العَصْرِ مِنْ يَوْمِ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ
فَقَالَ إِنَّا قَائِمُونَ إِنْ شَاءَ اللهُ يَعْنِى لَيْلَةَ سَبْعٍ
وَعِشْرِينَ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَقُومَ فَلْيَقُمْ قَالَ أَبُو ذَرٍّ
فَـتَجَلَّدْنَا لِلْقِيَامِ فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ e حَتَّى ذَهَبَ
ثُلُـثَا اللَيْلِ ثُمَّ انْصَرَفَ اِلَى قُـبَّتِهِ فِى الْـمَسْجِدِ
فَقُلْتُ لَهُ إِنْ كُنَّا لَقَدْ طَمِعْنَا يَا رَسُولَ اللهِ أَنْ
تَقُومَ بِنَا حَتَّى تُصْبِحَ، فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ إِذَا
صَلَّيْتَ مَعَ إِمَامِكَ وَانْصَرَفْتَ إِذَا انْصَرَفَ كُتِبَ لَكَ
قُنُوتُ لَيْلَتِكَ
Dari Abu Dzar, ia berkata, ”Tatlaka sepuluh
hari terakhir Ramadhan, Rasulullah saw. itikaf di masjid, ketika salat
ashar pada hari ke 22, ia bersabda, 'Insya Allah kita akan berjamaah
malam ini, siapa di antara kamu yang akan salat pada malam itu silahkan
ia salat, yakni malam ke 23, kemudian Nabi salat malam itu dengan
berjamaah setelah salat isya sampai lewat sepertiga malam.
Kemudian beliau pulang. Pada malam ke 24, ia tidak berkata apapun dan
tidak mengimami, pada malam ke 25 beliau berdiri setelah salat ashar,
yaitu pada hari ke 24, kemudian bersabda, 'Kita akan berjamaah malam ini
Insya Allah yakni pada malam ke 25, Siapa pun yang mau ikut berjamaah
silahkan’ Kemudian ia mengimami orang-orang sampai lewat sepertiga malam. Kemudian
ia pulang. Tatkala malam ke 26 ia tidak berkata apa pun dan tidak
mengimami kami, tatkala malam ke 27, beliau berdiri setelah salat ashar
pada hari ke 26, kemudian berdiri dan bersabda, 'Insya Allah kita akan
berjamaah malam ini yakni pada malam ke 27, siapa yang akan mengikuti
berjamaah silahkan ‘Abu Dzar berkata, 'Maka kami berusaha keras untuk
ikut salat berjamaah itu, lalu Nabi saw. mengimami kami sampai lewat dua pertiga malam. Kemudian
beliau pergi menuju Qubahnya di masjid (karena sedang I’tikaf). saya
berkata padanya, 'Bagaimana jika kami sangat menginginkan tuan mengimami
kami sampai subuh. Beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar jika engkau salat
beserta imammu, dan engkau selesai (salat) ketika imam itu selesai,
telah ditetapkan (pahala) untukmu ketaatanmu pada malam itu.” HR. Ahmad,
Musnad Ahmad, V:172, No. 21.549; Ath-Thabarani, al-Mu’jam al-Awsath, I:141, No. 442, Musnad asy-Syamiyin, II:92, No. 972.
Berbagai
keterangan di atas menunjukkan bahwa, keagungan Lailatul Qadar dan
kebesaran nilainya tidak ada artinya bagi kaum muslimin bila pada malam
itu tidur atau bangun tapi tidak melakukan amal ibadah, sebab pada malam
itu Allah memberikan kesempatan bagi kaum muslimin untuk bangun
melakukan ibadah. Karena itu, keagungan Lailatul Qadar akan menemui
orang-orang yang mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa dalam
menyambutnya. Hal itu tak ubahnya tamu agung yang berkunjung ke satu
tempat, ia tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu,
walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Demikian juga halnya
dengan Lailatul Qadar.
Apabila jiwa telah siap, kesadaran
telah mulai bersemi, dan Lailatul Qadar datang menemuinya, maka malam
kehadirannya menjadi saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di
masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah titik
tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Dan sejak saat itu malaikat akan turun guna menyertai dan
membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang
baru kelak di kemudian hari.
Inilah inti dari keagungan
Lailatul Qadar yang akan terjadi setiap bulan Ramadhan. Mudah-mudahan
Allah swt. senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita,
sehingga kita menjadi salah seorang yang layak ditemui oleh "Tamu Agung"
Tersebut.
Sumber :
https://www.facebook.com/amin.muchtar.1/notes
Sumber :
https://www.facebook.com/amin.muchtar.1/notes
0 komentar:
Post a Comment