Mengenal Tiga Istilah: MILLAH, DIN, DAN SYARI’AH
Makna
Syari’ah
Sebelum kita membahas perbedaan antara ketiga
istilah penting tersebut ada baiknya kita bahas dulu tentang makna syari’at,
istilah ini akan banyak disinggung dalam pembahasan. Shalat lima waktu, Shaum
ramadhan, shalat gerhana dll adalah contoh syari’at. Ia adalah aturan jelas,
dengan hukum yang jelas, dan aturan yang terperinci, terdapat dalam kitabullah
dan Ajaran Rasulnya,
Sebuah syari’at bisa berubah pada periode-periode Nabi
diutus, baik Syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Daud a.s, Musa, maupun Nabi
Muhammad dan nabi-nabi lainnya terjadi beberapa perberubahan bentuk syari’at, contohnya
Shaum wajib Umat Daud adalah selang sehari selama setahun, sedangkan Shaum Umat
Muhammad sebulan penuh, bagi bani Israil semua makanan asalnya halal, kecuali
apa yang diharamkan Isra’il (Ya’qub a.s) atas dirinya, tapi di kemudian hari
Allah mengharamkan segala binatang berkuku, sapi, domba serta lemak-lemaknya
untuk dimakan.[1]
Oleh karenanya Al-Alusi
dalam tafsirnya menerangkan sebagai berikut :
“Adapun syari’at asalnya bermakna sumber, kemudian dijadikan sebagai nama bagian hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan di dunia dan akhirat, sama saja apakah itu tersurat dari pembuat syari’at –yaitu Allah adalam kitab-Nya. pent— ataupun tidak, akan tetapi syari’at itu dikembalikan kepada pembuatnya. Dalam syari’at itu ada nasakh (penghapusan) dan tabdil (penggantian)” (Al-Alusi 1 : 448)
Allah swt berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ“dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan barometer terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan (syari’at) dan jalan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (Q.s al-Ma’idah : 48)
Makna ad-din
dan Millah
Para ahli tafsir dan bahasa berbeda
pendapat dalam mendefinisikan din (الدِيْن), millah
(ملّة), dan
syari’at, di antara mereka ada yang mempersamakan antara din dan millah
dan membedakannya dengan syari’at, seperti yang diungkapkan oleh Ar-Raghib dan
Ibnu Mandzur. Di antara mereka ada juga yang mempersamakan millah dan
syari’at dan membedakannya dengan din, seperti diungkap oleh al-Qurthubi
dalam Tafsirnya. Dan masih penafsiran-penafsiran lainnya.
Akan tetapi pendapat-pendapat
tersebut tidak begitu jelas hujjah-hujjahnya. Untuk itu kami akan
mengetengahkan pembahasan tentang ketiga istilah penting ini untuk
menghilangkan kerancuan dalam memahami pesan-pesan Allah dalam kitab-Nya.
Al-Alusi dalam tafsirnya, Ruhul ma’ani, mengatakan bahwa Millah adalah
dasar-dasar syari’at—atau lebih tepat adalah ‘ajaran inti’— yang tidak pernah
berubah sejak manusia pertama hidup
hingga manusia akhir zaman.
“Millah merupakan isim yang berasal dari fi’il amlaltu al-Kitaba (أَمْلَلْتُ الْكِتَابَ) yang berarti “Mendiktekan kitab”— seperti telah dikatakan oleh ar-Raghib. Darinya kemudian millah dipahami sebagai ‘thariiqin muluulin’ yang berarti “jalan yang sudah dikenal”—sebagaimana diterjemahkan oleh al-Azhari.Dari pengertian itu Kemudian ia diartikan sebagai dasar-dasar syari’at (ajaran inti. pent), Sebab Rasulullah saw mengajarkannya tapi tak seorang pun dari para nabi yang lain yang berselisih tentangnya... (Al-Alusi 1 : 448)
Millah merupakan pokok ajaran
yang tidak berubah dan menjadi pondasi dari semua bentuk syari’at/ ajaran
tertentu, maka ia akan menjadi dasar bagi setiap gerak langkah seseorang dalam
menentukan arah gerakan seseorang dalam menjalani hidupnya. Millah para
nabi ialah mengabdi pada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, yang menghantarkan manusia pada amal yang berdasarkan pada perintah dan
larangan dari Allah dan Rasul-Nya.
Ajaran ini tidak pernah berubah
sejak nabi pertama diutus hingga Nabi dan Rasul terakhir ditugaskan, Allah SWT
berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَا
مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنَا فَاعْبُدُونِ
dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun
sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka beribadahlah kamu sekalian kepadaku".
(al-Anbiya : 25)
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا
نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ (25) أَنْ لَا تَعْبُدُوا
إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ (26)
“dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh
kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan
yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak beribadah selain kepada Allah.
Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat
menyedihkan". (Q.s Huud : 25-26)
وَإِلَى عَادٍ
أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ
غَيْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا مُفْتَرُونَ
“dan kepada kaum 'Ad (kami utus) saudara
mereka, Huud. ia berkata: "Hai kaumku, beribadahlah pada Allah,
sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. kamu hanyalah mengada-adakan
saja.” (Q.s Huud : 50)
Ayat-ayat tersebut diatas
menjelaskan bahwa ada ajaran inti dari syari’at-syari’at yang diberlakukan di
setiap zaman para nabi sejak awal, yaitu mengabdi/beribadah pada Allah dengan
tidak menyekutukannya dengan sesuatupun, dan itu bersumber dari sebuah prinsip
kuat dalam kalimah thayyibah (laa ilaaha illaAllah).
Kalimat Thayyibah bukanlah sebuah prinsip
biasa, dia adalah dasar kokoh bagi setiap tingkah laku seorang muslim. Pemaham
yang benar terhadap kalimat ini akan menuntun seseorang ke arah keselamatan
dunia akhirat. Sebaliknya ketika salah memahami, akan salah jalan yang
ditempuh. Ia bagaikan sebuah kompas, ketika jarumnya melenceng satu derajat
saja dari arah tujuannya akan menyimpang berkilo-kilo meter ke arah yang salah,
sedikit saja pemahaman yang salah terhadap kalimat thyyibah ini maka akan jauh
kita tersesat. Itu sebabnya mengapa millah yang lahir dari umat ini
diprediksi akan begitu banyak.
Namun tidak semua yang memiliki
pemahaman yang benar beramal benar, banyak di antara manusia yang paham akan
tauhid yang lurus tapi tidak menjalankan tuntutan dari ketauhidan itu. ini juga
menunjukkan bahwa ada yang salah dari ketauhidannya, dan secara otomatis
membentuk millah yang lain, millah yang berdasar pada pemahaman
tanpa pengamalan.
Sungguh Allah telah menggambarkan
bagaimana seharusnya seseorang dalam bertauhid, Dia menggambarkan dengan sebuah
perumpamaan indah dalam al-Qur’an :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25)“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat thayyibah (Tauhid) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,. pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” ( Q. s Ibrahim : 24-25)
Jumhur
ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan kalimat thayyibah dalam ayat ini
adalah kalimat laa ilaaha illaAllah. Allah mennggambarkan kalimat itu seperti
pohon yang kuat akarnya, tinggi batangnya dengan daun yang rindang menaungi
orang-orang di bawahnya, juga memberi manfaat pada orang-orang sekitar.
Pemahaman yang benar dari kalimat thayyibah ini menjadi dasar paling penting
bagi terbentuknya banyak perbuatan kita sehari-hari, ia adalah akar yang akan
menumbuhkan batang-batang, daun dan buah yang baik untuk memberi rasa aman dan
manafaat pada orang di sekitarnya.
Maka
seorang muslim adalah orang yang mampu memberikan rasa aman pada orang di
sekitarnya lewat lisannya juga perbuatannya, dan memberi manfaat pada orang
lain. Millah seperti inilah yang akan menghantarkan pemeluknya menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dan sebaliknya, millah yang keluar
dari kalimat tauhid walau hanya sedikit penyimpangannya (keluar dari kriteria
perumpamaan kalimah thayyibah) adalah millah yang bathil, sebab
dari penyimpangan itu akan lahir sikap penentangan terhadap aturan Allah yang
dibawa oleh Nabi-Nya. Rasulullah menggambarkan bagaimana kaum Nashrani yang
gemar sekali beramal tapi saat aturan Allah datang pada mereka lewat Muhammad
Rasulullah mereka banyak menolaknya, begitu juga orang-orang Yahudi yang
mempunyai ilmu keagaamaan yang baik mereka tidak juga mau beriman pada ajaran
Islam.
Di
kalangan muslimin juga begitu, ada di antara mereka yang mengaku muslim tapi
karena prinsip mereka yang membebek pada ulama—bukan mencari kepastian bahwa ia
dari Allah dan Rasulnya—saat dihadapkan pada dalil-dalil shahih dari al-Qur’an
dan Sunnah banyak di antara mereka yang menolak. Begitupun dengan para
penjahat, pemabuk, penjudi, kaum musyrikin dll saat dihadapkan pada
aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya, mereka banyak menolaknya. Penolakan dalam istilah Islam disebut
dengan kufur.
Itulah sebabnya sebagian ulama termasuk Syafi’i dan Hambali
mengatakan bahwa segala bentuk kekufuran adalah satu millah yang sama
walaupun agama mereka berbeda-beda. Mereka mengatakan :
الْكُفْرُ مِلَّةٌ وَاحِدَةٌ“Kekufuran adalah millah yang satu”[2]
Ini menunjukkan bahwa semua bentuk kekufuran
memiliki millah yang sama, yaitu keluar dari akidah Islam yang
menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah.
Dari uraian di atas maka secara garis besar millah
terbagi dua, ada millah yang haq, dan illah yang bathil. Millah
yang haq, yaitu “Beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan
sesuatu-pun” atau lebih dikenal dengan Tauhid (kalimah thayyibah),
sedangkan millah yang batil adalah “segala millah yang keluar
dari ketauhidan yang lurus”, itulah ‘kekufuran’.
Karena tipisnya
penyimpangan-penyipangan itu Rasulullah menggambarkan akan lahir banyak millah
dari tubuh Umat yang telah Allah utus Nabi kepada mereka, Rasulullah Saw
bersabda :
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهْ وَ سَلّمَ، لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أَمّتِيْ مِا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَعْلِ بِالنِعْلِ، حِتَّى إِذَا كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَّةً، فَإِنَّ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذلِكَ، وِ إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تِفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثِ وَ سَبْعْينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النِارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدِةً، قِالُوْا: مَنْ هِيَ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِيْ (رَوَاهُ الِترْمِذي، عِنْ عِبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو: قَالَ الِترْمِذِي :حديث حسن غريب)Rasulullah pernah bersabda : sungguh akan datang kepada ummat ku apa yang telah datang kepada Bani Israil sedikit demi sedikit, hingga jika ada di antara mereka ada yang mendatangi (menzinahi) ibunya secara terang-terangan, maka sesungguhnya di antara ummatku pun akan ada yang melakukannya, Bani israil telah terpecah mejadi 72 millah (ajaran) dan umatku akan terpecah menjadi 73 millah, semuanya ada di neraka kecuali satu millah, mereka (para sahabat) bertanya : siapakah ia wahai rasulullah?, Rasulullah menjawab :“Apa yang Aku dan para sahabatku pegang teguh (al-Qur’an dan Sunnah) (HR. Tirmidzi, dari Abdullah Bin ‘Amr, al-Tirmidzi berkata : hadis hasan Gharib)
Dari Millah-millah
inilah yang kemudian akan lahir firqah (golongan manusia) yang bermacam-macam,
firqah yang masih tetap pada millah yang berlandaskan tauhid yang lurus,
dialah yang akan selamat, sedangkan yang melenceng darinya—walaupun sedikit—
akan celaka. Wallohu
a’lam
Lalu,
apa bedanya millah dan din?
Ad-Din memiliki arti yang sangat
luas, terkadang ia diartikan sebagai ketaatan dan ketundukan, terkadang juga
diartikan sebagai pembalasan, dan juga
terkadang diartikan sebagai sebuah sistem tata aturan (Agama).
Kalimat din yang berarti agama—yang
semakna dengan millah dalam terjemahan— memiliki cakupan arti yang lain,
ia lebih luas dari millah. Jika millah hanya berarti ajaran inti
atau pokok-pokok syari’at, din mencakup segala aturan yang mengikat
manusia; mencakup kepercayaan, aturan yang mengatur tata ibadah ritual dan
mua’amalah, hingga adanya balasan bagi pelanggar baik di dunia maupun di
akhirat. “Singkatnya din adalah sebuah sistem aturan yang mencakup segala
aspek dan memjanjikan balasan bagi pelaksana dan pelanggarnya”
Melihat pengertian tersebut, maka sebenarnya, Jika seorang manusia, baik pemimpin, penguasa atau yang lainnya membuat aturan yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, dari keyakinan hingga tata budaya yang wajib ditaati dengan konsekuensi hukuman bagi setiap pelanggarnya, maka sebenarnya itu adalah din/agama.[3]
Selain itu juga yang terpenting adalah bahwa din mengandung makna kekuasaan mutlak bagi siapa yang menciptakan dan mengaturnya, Islam sebagai din Allah mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi dalam din ini adalah Allah, jika Allah memberikan aturan, maka wajib ditaati, tak ada yang bisa mengalahkan aturannya.
Seperti millah, din juga terbagi dua, ada din yang haq dan din yang batil, din yang haq adalah dinul Islam, sedangkan din yang batil adalah din selain Islam, sebagaimana Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”(Q.s. Ali Imran : 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.s. Ali Imran : 85)
Pada akhirnya....
Dengan demikian tidak ada kebingungan bagi kita dalam memahami dua isitlah ini dalam al-Qur’an. Seperti yang terdapat dalam dalam ayat berikut ini :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ
وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا
بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ (78)
“Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) millah orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini,
supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi
atas segenap manusia, Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah
Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (al-Hajj : 72)
Dalam ayat tersebut Allah menerangkan bahwa agama yang dibawa oleh para Nabi (Islam) sangatlah luas, banyak aturan yang terdapat di dalamnya yang membutuhkan energi ketaatan yang kuat, maka kemudian Allah memerintahkan kita untuk mengikuti millah Ibrahim, yaitu Tauhid yang lurus yang taat tanpa kompromi pada Rab-Nya. Kita sudah tahu bagaimana ketaatan yang ditunjukkan Ibrahim, ia sampai rela mengorbankan anak dan Istrinya hanya karena itu perintah Allah. wallohu A’lam.
As-Shiraatha al-Mustaqim, dan Millah
Dalam ibadah shalat kita diperintahkan untuk membaca surat al-Fatihah dalam setiap rakaat, tak kurang dari 17 kali kita membaca surat tersebut dalam sehari. Ini menunjukkan betapa pentingnya makna surat ini.
Di
antara ayat-ayat dalam surat tersebut ada ungkapan do’a :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ“Tunjukilah aku Jalan yang lurus (shirat al-Mustaqim), yaitu jalan orang-orang yang telah Kau beri nikamat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai (al-Maghdlub), dan bukan pula jalan mereka yang sesat (ad-Dlalliin).” (Q.s. al-Fatihah : 6-7)
Ayat
ini merupakan do’a agar kita ditunjukki jalan yang lurus, jalan kebahagiaan
(as-shiraat al-Mustaqim), dan di ayat berikutnya dijelaskan kriterianya,
yaitu jalan orang-orang yang telah Allah beri Nikmat. Lalu mengapa toh seorang
muslim, tapi masih berdoa supaya ditunjukki jalan yang luruus? Padahal kan
jalan yang lurus itu sedang mereka tapaki? Mengapa harus diulang-ulang. Untuk
itu perlu pembahasan mengenai makna as-Shiraat al-Mustaqim itu.
Tentang siapa mereka dan bagaimana jalan mereka Allah menjelaskan dalam ayat lainnya:
إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ (51)
Ayat yang senada dengan Q.s. Ali Imaran : 5, ada dalam
banyak surat Dalam ayat ini dikatakan bahwa, jalan orang yang telah dianugerahi
nikmat oleh Allah adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam ayat lainnya di
antaranya Q.s. al-Hijr : 41, Maryam : 36, Yasin : 61, dan az-Zukhruf 61.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Dan Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Q.s. an-Nisa : 69)
Ayat-yat tersebut menunjukkan bahwa as-Shirat al-Mustaqim adalah beribadah kepada Allah dengan cara taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tak
cukup dengan hanya penjelasan itu Q.s. al-Fatihah : 7 Allah juga menggambarkan
kebalikan dari as-Shirat al-Mustaqim—unutuk lebih memperjelas as-Shiraat
al-Mustaqim— yakni jalan golongan al-Maghdluub (yang dimurkai) dan ad-Daalliin
(yang tersesat). Kedua golongan tersebut adalah Yahudi dan Nashrani, Rasulullah
pernah bersabda :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : سَأَلْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ المَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ قَالَ : "الْيَهُوْد" قُلْتُ الضَالِّيْنَ قَالَ : النَصَارَى.“Dari Abu Dzar r.a. Ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw tentang al-Maghdlubi ‘alaihim (orang-orang yang dimurkai), Beliau menjawab : (mereka adalah) “Yahudi”, Aku bertanya (lagi tentang) ad-Dlaalliin (orang-orang yang tersesat), Beliau menjawab : “Nashrani” (HR Ibnu Mardawaih dalam tafsir Ibnu Katsir 1 : 36)
Ibnu Katsir menjelaskan hal ini dalam
tafsirnya,
...ولِلْفَرْقِ بَيْنَ طَرِيْقَتَيْنِ لِيِجْتَنِبَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهَا، فَإِنَّ طَرِيْقَةَ أَهْلِ الإِيْمَانِ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى العِلْمِ بِالْحَقِّ وَ العَمَلِ بِهِ، وَالْيَهُوْدُ فَقَدُوْا العَمَلَ وَ النَصَارَى فَقَدُوا العِلْمَ، وَلِهذَا كَانَ الغَضَبُ لِليَهُوْدِ وَ الضَّلَالُ لِلنَّصَارَى...“...Dan untuk membedakan antara dua jalan mereka (Yahudi dan Nashrani) untuk menjauhkan keduanya dari diri kita, (perlu diketahui) sesungguhnya jalan (millah pent.) ahli Iman adalah mencakup atas pengetahuan yang benar dengan pengamalannya, sedangnkan Yahudi meninggalkan amal, dan Nashrani meninggalkan ilmu. Oleh karena itu maka murka (Allah) diperuntukkan bagi Yahudi dan kesesatan bagi Nahsrani...” (Ibid.,) [4]
Penyebutan
kebalikan dari jalan yang lurus yang hanya dua karakter manusia ini memberikan
pengertian bahwa hanya ada dua ajaran pokok (millah) yang sesat menurut
al-Qur’an, jika bukan al-Maghdlub –yang tahu ilmu tapi tak mengamalkan—
berarti ad-dlaalliin yang mengamalkan sesuatu tanpa landasan yang benar.
Kedua golongan ini dinisbatkan langsung pada Yahudi dan Nashrani. Dengan kata
lain semua bentuk kekufuran yang ada di dunia akan selalu berdasar pada millah
yang pasti, jika tidak membangkang setelah mengetahui ilmunya berarti beramal
dengan landasan yang tidak benar—jika tidak mengikuti millah Yahudi
berarti mengikuti millah Nashrani.
Kedua jalan sesat ini sangat sulit diketahui, seseorang yang kuat sekalipun tidak pernah ada dalam keadaan yang tetap, sekali waktu kita pernah terjerumus pula ke dalam lubang dosa apakah karena tidak tahu ilmunya— sehingg jadi seorang dlaallin—ataupun tahu ilmu tapi menyalahinya—menjadi seorang al-Maghlub. Maka tidak salah jika Muslimin diperintahkan untuk mengulang-ulang ihdinaa as-Shiraatha al-Mustaqim minimal 17 kali dalam sehari semalam, sebab tipis sekali perbedaan antara sesat dan tidak. Semoga kita senantiasa dituntun ke jalan yang lurus. Aamiin. Wallohu a’lam
Millah Ibrahim dan Millah Yahudi, Nashrani
Dalam banyak ayat dan surat, kita mendapati banyak ungkapan yang memerintahkan kita untuk mengikuti millah Ibrahim, mengapa harus Millah Ibrahim? Padahal semua nabi mengajarkan ajaran yang sama.
Jawabanya karena Allah telah mengangkat Nabi Ibrahim sebagai Imam, Allah berfirman :
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ (124)“dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (al-Baqoroh : 124)
Selain
itu, karena karakter millah itu adalah dikenal, semua orang yang pernah
membaca kitab suci samawi (Quran, Taurat, Injil, dan Zabur) tahu millah
Ibrahim, ia adalah seorang Nabi dan hamba Allah yang “selalu taat dalam
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah melalui wahyu, baik mudah atau
susah, menyenangkan maupun tidak—tetap saja ditaatinya.” Itulah millah
Ibrahim (juga nabi-nabi lainnya).
Sudah
menjadi sunnatullah, jika ada positif ada negatif, maka jika ada millah
yang harus diikuti maka ada juga millah yang dilarang untuk diikuti.
Itulah millah Yahudi dan Nashrani, dalam Q.s al-Baqoroh 120 Allah swt
berfirman :
ولَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (120)“orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (al-Baqproh : 120)
Ayat
ini mengisyaratkan larangan secara tidak langsung untuk umat Muhammad agar
menjauhi millah Yahudi dan nashrani, sebab di akhir Allah menghadirkan
hukuman bagi siapa saja yang mengikuti millah mereka, berupa “tidak akan
mendapan pelindung dan penolong dari Allah”, sementara inilah yang kita
butuhkan untuk kesuksesan kita di dunia juga di akhirat.
Lalu millah yang bagaimanakah millah
Yahudi dan Nashrani itu?
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa millah Yahudi adalah millah al-maghdlub (yang dimurkai) karena mereka mengetahui ilmu tapi tak mau mengamalkan sedangkan millah nashrani adalah millah ad-dlalliin (yang tersesat) karena mereka beramal tanpa ilmu yang benar. karena prinsip
Ibadah yang diridhai Allah adalah yang mengitergrasikan keduanya. Wallohu
a’lam bi as-Shawab.
[2]
Syaikh Utsaimin, As-Syarhu
al-Mumti’ ‘ala zaad al-Mustaqa, (al-Maktabah as-Syaamilah, http://www.ibnothaimeen.com), hlm, 11 : 135.,
walaupun memang secara lahir mereka punya millah yang berbeda, tapi
dalam pandangan Islam mereka punya satu dasar yang sama—“kufur”.
[4] Baik as-Shiraat al-Mustaqiim atau shiraat al-Maghdluub dan ad-Dlaallin adalah pokok ajaran yang menentukan segala amal, seorang muslim yang mukmin yang baik beramal berdasarkan jalan ini sedangkan orang-orang Yahudi beramal berdasarkan shiraatha al-Maghdlub dan Nashrani beramal berdasarkan ash-Shiraat ad-dlaallin. Oleh karena itu ketiga shiraat ini adalah millah. Wallohu ‘alam
6 komentar:
MasyaAlloh....
Mantap.
Konsep yang penting. Perlu untuk difahami dan berpegang teguh dgn nya. Lebih lebih lagi dizaman ini, dimana manusia sudah keliru makna makna dari istilah diatas.
@Admin, keren nih pandangannya min ? kayanya seru kalau bisa tatap muka diskusi... Bisa minta kirim email atau Kontaknya ke email saya ibn.jhd@gmail.com
@Admin, keren nih pandangannya min ? kayanya seru kalau bisa tatap muka diskusi... Bisa minta kirim email atau Kontaknya ke email saya ibn.jhd@gmail.com
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
YANG GAME DARI KAMI YANG TERLENGKAP
MULAI DARI |POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SAKONG |
Game Populer lainnya:
=>>Sabung Ayam S1288, CF88, SV388,
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
> Bonus Tiap Harinya
> Proses Deposit & Withdraw PALING CEPAT
> Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128
www anapoker.vip
MasyaaAllah
Semoga tulisannya bermanfaat
Awalnya saya ingin mendalami makna nama saya
dan akhirnya mendapat pemahaman yang lebih karena tulisan ini
Post a Comment